Pangkal spirit “wawasan Nusantara” tersimpan nun jauh di balik situs Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Petilasan ibu kota Kerajaan Majapahit (1292-1500) itu bukan hanya saksi bisu imperium terbesar yang pernah ada di negeri ini, melainkan juga mewariskan inspirasi cara pandang geopolitik baru
Majapahit mendobrak sekat wawasan politik sempit kedaerahan. Di tengah gelagat menguatnya ego sektoral mengiringi politik desentralisasi pasca-reformasi belakangan ini, bangsa ini perlu menghayati kembali roh wawasan Nusantara sebagai jati diri bangsa, warisan Mahapatih Majapahit Gajah Mada, lewat “Sumpah Palapa”. Ia bersumpah tak akan makan palapa sebelum menyatukan Nusantara.
Sejak dua tahun, pemerintah mendorong eksplorasi besar-besaran situs Trowulan, dengan merintis Taman Majapahit (Majapahit Park), sebagai sentra wisata edukasi dan rekreasi. Taman ini dimaksudkan untuk mengingatkan pengunjung pada kejayaan Majapahit di abad ke-13 hingga ke-15.
Majapahit tidak pernah takluk pada Khubilai Khan, kaisar Mongol yang pernah menguasai dunia. Masterplan renovasi situs Trowulan sebenarnya dibuat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1982. Namun rencana terbaru merestorasi situs Trowulan digagas Menbudpar, Jero Wacik, setelah mengunjungi Trowulan, April 2006.
Majapahit Park disiapkan sebagai objek wisata budaya plus pusat informasi kebudayaan Majapahit yang terintegrasi, holistik, dan komprehensif. Proyek Trowulan diharapkan merekonstruksi kejayaan Majapahit, bukan saja aspek kasatmata melainkan juga budayanya, seperti nilai, kearifan, dan norma ketimuran yang pernah menopang kejayaan Majapahit. “Revitalisasi peninggalan Majapahit diharapkan dapat memperkuat semangat persatuan dan kesatuan bangsa,” ujar Jero Wacik.
***
Berbagi studi mengungkapkan, Raden Wijaya, pendiri Majapahit, ternyata seorang arsitek ulung. Ketika membangun ibu kota kerajaannya di Hutan Terik, tahun 1293, Wijaya –yang kemudian bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana– menghitung aspek tata ruang secara matang.
Dibantu Adipati Madura, Wiraraja, Wijaya mengombinasikan unsur politik dengan aspek pertahanan, tatanan budaya, dan ekonomi. Namun, ia juga tak menyembunyikan keunggulan Majapahit lewat kemegahan bangunan keratonnya.
Raden Wijaya memadukan pola tata ruang kota-kota di India dengan gaya Jawa. Walhasil, ibu kota Majapahit terkesan ramah dan mengandung unsur kota modern. Permukiman masyarakat yang melingkar di pinggiran menjadi benteng yang kuat bagi pusat kota.
Seandainya tembok pertahanan dibobol musuh, istana masih dilindungi kolam yang dalam, disebut segaran, yang mengelilingi kaveling istana yang bulat dengan radius satu kilometer. Pola arsitektur kota tua itu dipaparkan Bondan Hermanislamet, dalam disertasi doktornya berjudul “Tata Ruang Kota Majapahit: Analisis Keruangan Bekas Pusat Kerajaan Hindu Jawa Abad XIV di Trowulan, Jawa Timur”.
Bondan adalah Staf pengajar Fakultas Teknik, Jurusan Arsitektur, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia melakukan penelitian tata kota Trowulan berdasarkan naskah klasik Negarakartagama karya Empu Prapanca, yang ditemukan tahun 1894 di Cakranagara, Lombok. Dari naskah tersebut, menurut Bondan, Istana Majapahit bisa ditafsirkan mirip Puri Klungkung di Bali serta Keraton Surakarta dan Yogyakarta.
Situs Majapahit pertama kali direkonstruksi oleh Wardenar dari Belanda (1889), dengan membuat gambar dan denah kota. Meski banyak penelitian dilakukan di situs ini, kata Bondan, tinjauan arsitekturnya masih langka. Untuk memberikan khazanah baru, Bondan melakukan studi rekonstruksi lewat metode kualitatif digabung dengan interpretative research.
Bondan mengemukakan bahwa pola grid (kisi) terbuka menjadi ciri menonjol. Kota tak dibatasi pagar tembok keliling. Pola ini menjadi sarana efektif dalam pengaturan lingkungan masyarakat. “Dan menjadi kerangka representatif untuk memunculkan jati diri Majapahit,” kata Bondan, yang melakukan studi ini sejak 1985.
Bangunan keratonnya, yang menjadi inti pusat kota, dibangun dengan pola “geometri rektilinear”, yang memberi kesan memusat, kaku. Namun kokoh, megah, dan berwibawa.
Dalam pengembangan kota, Majapahit menggunakan pola “sirkuler organis”: melingkari pusat kota. Pola sirkuler ini, secara mendasar, berbeda dengan pola grid, karena lebih terbuka, luwes.
Secara filosofis, pola yang disebut “organis” ini juga dimaksudkan untuk memelihara harmoni antara nilai yang terikat dan yang bebas, antara pusat dan pinggiran, serta antara puncak kerajaan dan rakyat di bawah. Di pinggiran pusat kota itulah dibangun 18 waduk, kolam, dan irigasi untuk persawahan.
Pengembangan pola arsitektur dari “rektilinear” menjadi “organis” itu, kata Bondan, mengajarkan filsafat pengaturan –meski tak kaku. Unsur keseimbangan sangat ditonjolkan. Tempat peribadatan antara agama Hindu dan Budha bisa dibangun berdampingan.
Nyatanya, paling tidak Negarakartagama tak menyebut adanya konflik antarumat beragama. Tak ada kerusuhan beraroma SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). “Dari Majapahit, kita bisa belajar kearifan dan kepekaan lokal dalam pengelolaan sumber daya perkotaan,” ucap Bondan, yang asal Nganjuk, Jawa Timur.
Kota Majapahit luasnya cuma 8 x 10 kilometer, yang berada dalam bentang empat sungai: Brangkal, Kepiting, Gunting, dan Brantas. Ada dua jalan utama di kota Majapahit yang bersilang dari arah utara-selatan dan timur-barat. Pada pusat kota terdapat empat unsur keraton terpenting, yakni kompleks keraton, ruang pertemuan umum (alun-alun), tempat peribadatan, dan pasar.
Kearifan “geopolitis” Majapahit itu, kata Bondan, tampak dari cara Raden Wijaya memilih lokasi kotanya: di antara Kediri dan Singasari, dua kerajaan yang bermusuhan. Dari sisi pertahanan cukup pas. Wijaya dapat menyerang Kediri sekaligus Singasari. Ia juga mudah bersekutu bila serdadu Mongol diperintahkan kembali oleh Khubilai Khan untuk menyerang Jawa.
***
Perkumpulan Peduli Majapahit, Gotrah Wilwatikta, membuat peta ibu kota Majapahit setelah meneliti dua tahun lebih. Ibu kota Majapahit melingkupi 51 desa di tiga kecamatan di Mojokerto dan tiga kecamatan di Jombang.
Di Mojokerto meliputi Kecamatan Sooko (dua desa), Jatirejo (lima desa), dan Trowulan (13 desa). Di Jombang meliputi Mojoagung (17 desa), Mojowarno (empat desa), dan Sumobito (10 desa).
Ibu kota Majapahit bukan hanya di Trowulan, tapi membentang di kabupaten Mojokerto dan Jombang. “Ini gambaran baru bagi sejarah Indonesia,” kata Anam Anis, ketua perkumpulan Gotrah Wilwatikta.
Gotrah membuat ilustrasi detail pusat ibu kota Majapahit. Di pusat kota terdapat lapangan bubat, tempat tinggal pejabat, rumah Gajah Mada, tempat prajurit berkumpul, kediaman para menteri, dan tempat kediaman pemimpin keagamaan. Ada juga pemandian, tempat kediaman Bhre Wengker, Bhre Matahun, kediaman kerabat raja, dan para kesatria.
Berbagai candi ditemukan dalam ilustrasi itu. Misalnya Candi Muteran, Gentong, Tengah, Siwa, dan candi Budha. Selain itu, ditemukan perkampungan prajurit, panggung, keraton, dan beberapa bangunan tinggi.
Melalui foto udara inframerah, di situs Trowulan dan sekitarnya terlihat jalur-jalur utara-selatan yang berpotongan tegak lurus dengan jalur-jalur timur-barat. Jalur timur-barat terdiri dari delapan jalur. Sedangkan jalur utara-selatan enam jalur. Namun ada pula dua jalur menyerong. Jalur-jalur itu diketahui sebagai kanal-kanal kuno.
Lebarnya 35-45 meter. Kanal terpendek sepanjang 146 meter. Ada tiga fungsi kanal-kanal itu, yakni untuk transportasi, pertahanan, dan pengairan. Untuk transportasi, sebagai sarana penghubung antarwilayah. Bahkan wilayah itu dijadikan sebagai pelabuhan bagi kapal-kapal yang akan singgah atau berlabuh.
Sebagai pertahanan, ibu kota Majapahit dikelilingi benteng. Di luar benteng terdapat kanal-kanal berlapis. “Musuh tidak mudah masuk karena ada informasi dari kanal-kanal sebelumnya,” ujar Anam. Bila musuh datang, prajurit telah siap menyongsongnya karena kedatangan musuh telah diketahui.
Sebagai pengairan, kanal berfungsi memenuhi kebutuhan air kerajaan. “Modelnya masih sederhana,” katanya. Air pada kanal-kanal itu dialirkan langsung ke tempat-tempat kediaman. Dengan adanya temuan ini, diyakini ada informasi baru bagi sejarah Indonesia. “Kami tidak mengklaim bahwa ini yang benar, tapi kami telah berusaha untuk menelitinya,” kata Anam.
***
Proyek pengembangan Majapahit Park belakangan menuai kontroversi dan mengundang protes dari arkeolog dan sejarawan. Karena pembangunan fondasi bangunan Pusat Informasi Majapahit di situs Segaran sebelah selatan Museum Trowulan telah merusak situs arkeologi tersebut.
Struktur tembok bata dan sumur Jobong yang sangat berharga berserakan dan rusak di lokasi pembangunan. Pemerintah beralasan, metode penggalian yang diterapkan tidak merusak situs jika dibandingkan dengan metode pengeboran. Kini, pembangunan Taman Majapahit ditunda untuk meneliti dampak pembangunan terhadap situs arkeologi.
Asrori S. Karni, Joko Syahban, Rohmat Haryadi, Rach Alida Bahaweres, dan Sawariyanto